Tentang Sahabat

Semua orang butuh sahabat. Tapi mengapa sulit bagi saya mendapatkan seorang sahabat?

Anda benar. Anda butuh seseorang tempat anda berbagi suka dan duka. Ibarat petinju, Anda membutuhkan seseorang yag duduk di sudut Ring Anda siap berseruh penuh semangat mendukung Anda menghadapi pertarungan dalam hidup.

Anda membutuhkan seseorang yang menemani ketika Anda sedang down dan tidak ingin melakukan apa pun selain duduk selojor sambil menjilat sendok es krim dan meneteskan air mata sedih karena kesal pada sesuatu hal.

Anda membutuhkan seseorang yang akan diam-diam merapikan jilbab atau rok Anda dari belakang, sehingga orang lain tak tahu bahwa darah bekas mens Anda menembus baju Anda.

Seseorang yang tahu kapan waktunya anda ingin ditemani, dan kapan waktunya mengambil jarak ketika Anda ingin menyendiri, tanpa banyak bertanya.

Bagaimana mendapatkan seorang sahabat? Mulailah dengan mengubah diri Anda untuk layak dijadikan sahabat yang baik. Mulailah bersikap mudah menolong dan memaafkan, dengan mudah menerima kekurangan orang lain selama masih ada jalur yag benar. Mulailah dengan mudah tersenyum dan mengulurkan tangan dengan ramah kepada sesama.

Mulailah dengan memandang , dengan "kecamata positif" dan tidak terus meerus mencari-cari kesalahan orang lain. Kalau orang barat bilang star giving rather than taking....... Mulailah dengan memberi, bukan menuntut.


Sumber : Majalah Alia

Pendekatan Problem Posing

II. PEMBAHASAN

A.Teori-teori Yang Mendukung Pendekatan Problem Posing

Problem posing merupakan pendekatan dalam pembelajaran dengan meminta siswa untuk mengajukan soal atau masalah. Masalah yang diajukan dapat berdasarkan pada soal yang luas ataupun soal yang sudah dikerjakan. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing biasanya diawali dengan penyampaian teori atau konsep. Penyampaian materi biasanya menggunakan metode ekspositori. Setelah itu, pemberian contoh soal dan pembahasannya. Selanjutnya, pemberian contoh bagaimana membuat masalah baru dari masalah yang ada dan menjawabnya. Kemudian siswa diminta belajar dengan problem posing. Mereka diberi kesempatan belajar individu atau berkelompok. Setelah pemberian contoh cara membuat masalah dari situasi yang tersedia, siswa tidak perlu lagi diberikan contoh. Penjelasan kembali contoh, bagaimana cara mengajukan soal dan menjawabnya bisa dilakukan, jika sangat diperlukan. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing dapat juga dimulai dari membaca daftar pertanyaan pada halaman soal latihan yang terdapat dalam buku ajar. Setelah itu baru membaca materinya. Cara ini berkebalikan dengan cara belajar selama ini. Tugas membaca yang diperintahkan pada siswa biasanya bermula dari materi, lalu menjawab soal pada halaman latihan. Kelebihan membaca soal terlebih dahulu baru membaca materi, terletak pada fokus belajar siswa. Ketika siswa membaca pertanyaan terlebih dahulu, maka mereka akan berusaha untuk mencari jawaban dari pernyataan yang telah mereka baca. Tapi lain masalahnya ketika dibalik. Bila membaca materi terlebih dahulu, maka ketika sampai pada bagian soal latihan, ada kemungkinan siswa akan membacanya kembali atau membuka-buka bagian yang telah dibaca untuk menjawab soal yang ada. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk cara belajar membaca materi terlebih dahulu, lebih banyak dibandingkan dengan cara belajar membaca soalnya setelah itu baru membaca materinya.


Ada beberapa definisi problem posing menurut para ahli, antara lain:
a) Menurut Suyanto dalam Aips (2008) menyebutkan bahwa problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah "pembentukan soal" yaitu perumusan soal atau mengerjakan soal dari situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah pemecahan masalah. Pembentukan atau pembuatan soal mencakup dua macam kegiatan yaitu pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau pengalaman sendiri dan pembentukan soal yang sudah ada.
b) Menurut tim penelitian tindakan matematika (2003:2), problem posing diartikan sebagai membangun atau membentuk permasalahan. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing ini pada intinya adalah meminta siswa untuk mengajukan soal atau masalah. Masalah yang diajukan dapat berdasarkan pada topik yang luas dan soal yang sudah dikerjakan atau pada informasi tertentu yang diberikan oleh guru.
c) Menurut Suryanto (1998) dalam Chairani (2007), problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana sehingga soal tersebut dapat diselesaikan. Biasanya perumusan soal ini diterapkan pada soal-soal yang rumit agar menjadi lebih sederhana sehingga memungkinkan untuk diselesaikan.
d) Menurut Silver (1996), problem posing memiliki beberapa pengertian, yaitu (1) problem posing adalah pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah kegiatan penyelesaian, (2) Perumusan soal yang berkaitan dengan syarat–syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka menari alternatif penyelesaian atau alternatif soal yang masih relevan, (3) perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia.

Metode berdasarkan masalah atau problem posing memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam mempelajari dan menemukan sendiri informasi atau data untuk diolah menjadi konsep, teori, atau kesimpulan. Penerapan metode ini digunakan bersamaan dengan metode lain, misalnya metode diskusi yaitu suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberi kesempatan pada siswa (kelompok-kelompok siswa) untuk mengadakan berbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif atas pemecahan masalah.

Dalam pembelajaran problem posing, kegiatan perumusan masalah atau pengajuan soal dilakukan oleh siswa. Siswa hanya diberi situasi sebagai stimulus dalam merumuskan soal atau masalah. English dalam Anonim (tanpa tahun) membedakan dua macam situasi atau konteks, yaitu konteks formal bisa dalam bentuk simbol (kalimat matematika) atau dalam kalimat verbal, dan konteks informal berupa permainan dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus. English dalam Subanji (2008) mengadakan penelitian problem posing anak dalam konteks formal dan informal. Dalam konteks formal, siswa diberi rangsangan berupa kalimat formal "2 – 4 = 8", selanjutnya siswa mengajukan masalah dari konteks formal tersebut. Dalam konteks informal, siswa diberi gambar foto yang beraneka ragam warnanya, selanjutnya siswa mengajukan permasalahan dari gambar tersebut. Hasil penelitian ini salah satunya menyebutkan bahwa siswa lebih banyak menghasilkan masalah berbeda pada konteks informal daripada konteks formal.

Dalam pelaksanaanya dikenal beberapa jenis model problem posing, antara lain:
1. Situasi problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2. Situasi problem posing semi terstruktur siswa diberikan situasi atau informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur, siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.
Untuk selengkapnya silahkan dowload makalah ini, silahkan anda klik link di bawah ini :

Download

model pembelajaran kooperatif Tipe TGT

PEMBAHASAN
A.Teori-Teori Pendukung

Teams Games Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards. Dalam TGT, para siswa dikelompokkan dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang heterogen. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran (Slavi, 2008). Secara umum, pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki prosedur belajar yang terdiri atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Games Tournament dimasukkan sebagai tahapan review setelah siswa bekerja dalam tim (sama dengan TPS).

Dalam TGT siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja turnamen”, di mana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor nilai IPA terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi dalam tiap meja turnamen akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja mana ia mendapatkannya. Ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi rendah juga) dan yang berprestasi tinggi (bermain dengan yang berprestasi tinggi) keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Tim dengan tingkat kinerja tertinggi mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan tim lainnya.

Model pembelajaran kooperatif mempunyai banyak sekali variasi. Salah satu di antaranya adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournaments). Menurut Saco (2006), dalam TGT siswa memainkan permainan-permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Kadang-kadang dapat juga diselingi dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok (identitas kelompok mereka).


B.Kelebihan Dan Kelemahan

Slavin (2008), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:
1. Para siswa di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada siswa yang ada dalam kelas tradisional.
2. Meningkatkan perasaan/persepsi siswa bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada keberuntungan.
3. TGT meningkatkan harga diri sosial pada siswa tetapi tidak untuk rasa harga diri akademik mereka.
4. TGT meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan nonberbal, kompetisi yang lebih sedikit)
5. Keterlibatan siswa lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi menggunakan waktu yang lebih banyak.
6. TGT meningkatkan kehadiran siswa di sekolah pada remaja-remaja dengan gangguan emosional, lebih sedikit yang menerima skors atau perlakuan lain.
Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual.

Untuk mendownload makalah ini, silahkan anda klik link di bawah ini :

Download

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori-teori Pendukung Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekan-rekan sejawatnya (Aronson & Patnoe, 1997). Menggunakan Jigsaw, siswa-siswa di tempatkan ke dalam tim-tim belajar heterogen beranggotakan empat sampai enam orang. Berbagai materi akademis disajikan kepada siswa dalam bentuk teks, dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari satu porsi materinya.
Model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw juga diperkenalkan oleh Aronson, Blaney, Stephan, dan Snapp, 1978; Aronson, Bridgemen & Geffner, 1978). Metode itu adalah strategi belajar kooperatif dimana setiap siswa menjadi seorang anggota dalam bidang tertentu. Kemudian membagi pengetahuannya kepada anggota lain dari kelompoknya agar setiap orang pada akhirnya dapat mempelajari konsep-konsep. Menurut Aronson, para siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, masing-masing anggota kelompok diberikan satu tugas untuk dikerjakan atau bagian-bagian dari materi-materi penelitian untuk dikoreksi dan ditinjau ulang.
Selaras dengan pendapat Aronson (1997), tehnik belajar kooperatif jenis Jigsaw lebih menyangkut kerjasama dan saling ketergantungan antara siswa. Pertama kalinya dikembangkan untuk menghadapi isu yang disebabkan perbedaan sekolah-sekolah di Amerika Serikat yang sering terjadi antara tahun 1964 dan 1974.
Menurut Edward (1989), kelompok yang terdiri dari empat orang terbukti sangat efektif. Sedangkan Sudjana (1989) mengemukakan, beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat terdiri 4-6 orang siswa. Jumlah yang paling tepat menurut hasil penelitian Slavin adalah hal itu dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6 orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.
Yusar (2005) menyatakan, dalam pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw siswa belajar kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang, heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas ketuntasan bagian bahan pelajaran yang mesti dipelajari dan menyampaikan bahan tersebut kepada anggota kelompok asal.
Dalam hal ini, Soejadi (2000) mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan makin kurang efektif kerjasama antara para anggotanya.
Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu.
Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Dengan demikian, cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang sangat disukainya misalnya sesama jenis, sesama etnik, dan sama dalam kemampuan.
Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan seringkali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu, memberikan kebebasan siswa untuk membentuk kelompok sendiri bukanlah cara yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokan secara acak juga dapat digunakan, khusus jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun ajaran baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya.
B. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
1. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
Menurut Ibrahim dkk (2000) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif dari pada dari guru. Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000) belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antara siswa normal dan siswa penyandang cacat. Davidson (1991) memberikan sejumlah implikasi positif dalam belajar matematika dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut.
a. Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar matematika. Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan pendapat, belajar dari pendapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan penemuan mereka dalam bentuk tulisan.
b. Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep strategi pemecahan masalah.
c. Masalah matematika idealnya cocok untuk diskusi kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa dapat mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.
d. Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.
e. Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang yang bermanfaat bila didiskusikan. Belajar kooperatif dapat berbeda dalam banyak cara, tetapi dapat dikategorikan sesuai dengan sifat berikut (1) tujuan kelompok, (2) tanggung jawab individual, (3) kesempatan yang sama untuk sukses, (4) kompetisi kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan (6) adaptasi untuk kebutuhan individu (Slavin, 1995).

2. Kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi “pengganjal” aplikasi metode ini dilapangan yang harus kita cari jalan keluar atau solusinya, menurut (Roy Killen, 1996) adalah :
a. Prinsip utama pola pembelajaran ini adalah “peer teaching”, pembelajaran oleh teman sendiri, ini akan menjadi kendala karena perbedaan persepsi dalam memahami suatu konsep yang akan di diskusikan bersama dengan siswa lain. Dalam hal ini pengawasan guru menjadi hal mutlak di perlukan, agar jangan sampai terjadi “missconception”.
b. Dirasa sulit menyakinkan siswa untuk mampu berdiskusi menyampaikan materi pada teman, jika siswa tidak punya rasa percaya diri. Pendidik harus mampu memainkan perannya mengorkestrasikan metode ini.
c. Rekod siswa tentang nilai, kepribadian, perhatian siswa harus sudah dimiliki oleh pendidik dan ini biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengenali tipe-tipe siswa dalam kelas tersebut.
d. Awal penggunaan metode ini biasanya sulit dikendalikan, biasanya butuh waktu yang cukup dan persiapan yang matang sebelum model pembelajaran ini bisa berjalan dengan baik.
e. Apabila metode ini pada kelas yang besar (lebih dari 40 siswa) sangatlah sulit. Tapi bisa diatasi dengan model “team teaching”.

Untuk men download makalah ini, silahkan anda klik link di bawah ini :

Download

Metode Discovey

BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori-teori Pendukung Pembelajaran Metode Discovey
Metode Discovery menurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi.
Metode Discovery merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode discovery adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.
Suryosubroto (2002:193) bahwa discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
Menurut Herdian (2010) Metode pembelajaran discovery (penemuan) adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery (penemuan) kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.
Metode discovery diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorang, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi. Sedangkan Bruner menyatakan bahwa anak harus berperan aktif didalam belajar. Lebih lanjut dinyatakan, aktivitas itu perlu dilaksanakan melalui suatu cara yang disebut discovery. Discovery yang dilaksanakan siswa dalam proses belajarnya, diarahkan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip.
Discovery ialah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Dengan teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan intruksi. Dengan demikian pembelajaran discovery ialah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Metode pembelajaran discovery merupakan suatu metode pengajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan metode ini, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.

B.Kelebihan dan Kekurangan Metode Discovery

Metode discovery memiliki kebaikan-kebaikan seperti diungkapkan oleh Suryosubroto (2002:200) yaitu:
1.Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu,
2.Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan,
3.Metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri,
4.Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia lebih merasa terlibat dan bermotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus,
5.Metode discovery dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan. Dapat memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan,
6.Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru berpartisispasi sebagai sesama dalam situasi penemuan yang jawaban nya belum diketahui sebelumnya,
Kelemahan metode discovery Suryosubroto (2002:2001) adalah:
1.Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. Misalnya siswa yang lamban mungkin bingung dalam usanya mengembangkan pikirannya jika berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa yang lebih pandai mungkin akan memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi pada siswa yang lain,
2.Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya sebagian besar waktu dapat hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori, atau menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu.
3.Tidak semua guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan metode discovery.

Untuk men download makalah ini, silahkan anda klik link di bawah ini :

Download

Model Pembelajaran Cooperatif type Team Assisted Individualizaion (TAI)

II. PEMBAHASAN

A. Teori-teori yang Mendukung Model Pembelajaran Cooperatif type Team Assisted Individualizaion (TAI)
Model pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) merupakan suatu model koooperatif yang menitikberatkan pada proses belajar dalam kelompok, proses belajar dalam kelompok membantu siswa dalam menentukan dan membangun sendiri pemahaman tentang materi pelajaran.
Model pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dikembangkan oleh Robert Slavin: 1995 adalah salah satu model pembelajaran yang menggunakan kelompok yang heterogen yang terdiri dari 4 sampai 5 orang yang saling bekerja sama dalam kelompok-kelompok mereka untuk memecahkan masalah.
Model pembelajaran kooperatif Team Assisted Individualization (TAI) merupakan salah satu dari model pembelajaran kooperatif yang dibentuk dari kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang heterogen dalam setiap kelompok dan diikuti dengan pemberian bantuan individu bagi peserta didik yang memerlukan. Menurut (Slavin, 1995: 101-104) model pembelajaran TAI memiliki 8 (delapan) komponen yaitu sebagai berikut:
1. Teams yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 sampai 5 siswa.
2. Placement Test yaitu pemberian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu.
3. Curriculum Materials yaitu siswa bekerja secara individu tentang materi kurikulum penutup penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, perbandingan, persen, statistika, dan aljabar.
4. Team Study yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individu kepada siswa yang membutuhkan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkannya.
5. Team Scores and Team Recognition yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan pemberian kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil dalam menyelesaikan tugas.
6. Teaching Group yakni pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok.
7. Fact Test yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa.
8. Whole-Class Units yaitu pemberian materi oleh guru kembali di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah (suyitno, 2002: 9)
B. Ciri-ciri Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualizaion (TAI)
1. Ciri khas model pembelaran Kooperatif tipe TAI adalah:
1) Setiap siswa secara individual mempelajari materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru.
2) Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan dibahas oleh anggota kelompok.
3) Semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
4) Menitikberatkan pada keaktifan siswa.
2. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI adalah:
Bantuan individual dalam kelompok (Bidak) dengan karakteristik menurut (Driver, 1980) adalah:
1) Tanggung jawab belajar adalah ada pada siswa.
2) Siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru.
3) Pola komunikasi guru adalah negoisasi dan bukan imposisi-intruksi.

C. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization ( TAI)
1. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI
1) Siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalah.
2) Siswa diajarkan bagaimana bekerjasama dalam suatu kelompok.
3) Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dalam keterampilannya.
4) Adanya rasa tanggung jawab dalm kelompok dalam menyelesaikan masalah.
5) Menghemat presentasi guru sehingga waktu pembelajaran lebih efektif

2. Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI
Di samping kelebihan, model pembelajaran kooperatif tipe TAI juga memiliki kelemahan. Adapun kelemahan model pembelajaran ini adalah:
1) Siswa yang kurang pandai secara tidak langsung akan menggantung pada siswa yang pandai.
2) Tidak ada persaingan antar kelompok.
3) Tidak semua materi dapat diterapkan pada metode ini
4) Pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru kurang baik maka proses pembelajarannya juga berjalan kurang baik.
5) Adanya anggota kelompok yang pasif dan tidak mau berusaha serta hanya mengandalkan teman sekelompoknya.

Untuk men download makalah ini, silahkan anda klik link di bawah ini :

Download

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

II. PEMBAHASAN
A. Teori-teori yang Mendukung Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achievement Divisions (STAD).
Tipe ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawannya dari Universitas John Hopkins. Tipe ini merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktifitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.
Model pembelajaran kooperatif tipe ini didasarkan pada teori belajar vygotsky (1978, 1986) yang menekankan pada interaksi sosial sebagai sebuah mekanisme untuk mendukung pekembagan kogitif. Teori teori tersebut diantaranya :
1. Teori Motivasi, memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan dimana para siswa bekerja mengidentifikasi tiga struktur tujuan yaitu kooperatif, kompetitif, dan individualistik.
2. Teori Kognitif, Menekankan pada pengaruh dari kerjasama itu sendiri, Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi akan muncul dalam percakapan atau kerjasama antara individu.
STAD terdiri atas lima komponen, yaitu:
1. Persentasi kelas, materi yang diperkenalkan seperti halnya dilakukan oleh guru tetapi bedanya haruslah berfokus pada unit STAD.
2. Tim, terdiri dari 4 atau siswa dengan keheterogenan dalam artian jenis kelamin dan kinerja akademik berbeda-beda. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok harus benar-benar bekerja dengan baik.
3. Tes, para siswa mengerjakan kuis-kuis individual.
4. Rekognisi tim, tim akan mendapatkan penghargaan apabila skor rata-rata mencapai kriteria tertentu. Penghargaan yang diberikan berupa pujian atau sertifikat.
5. Pengakuan tim, yaitu dengan memberikan penghargaan kepada kelompok.
B. Ciri-ciri Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.
Menurut Slavin (2008: 10), ciri-ciri model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu:
1. Bahan pelajaran disajikan oleh guru dan siswa harus mencurahkan perhatiannya, karena hal itu akan mempengaruhi hasil kerja mereka dalam kelompok.
2. Anggota kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa, mereka heterogen dalam berbagai hal seperti prestasi akademik dan jenis kelamin.
3. Setelah tiga kali pertemuan diadakan tes individu berupa kuis mengguan yang dikerjakan siswa sendiri-sendiri.
4. Materi pelajaran disiapkan oleh guru dalam bentuk lembar kerja siswa.
Penempatan siswa dalam kelompok lebih baik ditentukan oleh guru daripada memilih sendiri.
C. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.
Sebagaimana setiap model pembelajaran, di satu sisi memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki kelemahan, demikian halnya dengan STAD ini. Namun dalam STAD apa yang dikatakan kelemahan, sebenarnya adalah kesulitan dalam menerapkan STAD di kelas, kerumitan tersebut seminimal mungkin dapat diatasi. Adapun keuntungan model pembelajaran kooperatif adalah:
1. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu.
2. Mengharuskan setiap siswa aktif berinteraksi satu sama lain.
3. Saling ketergantungan positif dan kepercayaan kelompok dikembangkan.
4. Akuntabilitas/tanggung jawab.
5. Adanya penghargaan yang dapat memotivasi siswa
Sedangkan kelemahan model pembelajaran kooperatif adalah:
1. Kecocokan antar siswa, untuk membentuk kelompok kadang-kadang sangat sulit untuk menggabungkan siswa yang mau bekerja sama dengan baik.
2. Saat diskusi kelas terkadang di dominasi seseorang hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
3. Memerlukan waktu yang banyak, tenaga dan pikiran.
4. Ada kecenderungan topik permasalahan yang dibahas meluas.

Untuk men download makalah ini, silahkan anda klik link di bawah ini :

Download

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diterapkan untuk meningkatkan pembelajaran fisika

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
      Fisika merupakan salah satu disiplin ilmu yang menjadi wahana pencapaian tujuan dari pendidikan, selain dapat mencerdaskan siswa sebagai peserta didik, fisika juga dapat digunakan untuk membentuk kepribadian siswa, mengembangkan keterampilan, serta memiliki sikap logis, kritis, cerdas dan kreatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Peranan fisika yang sedemikian pentingnya sangat dipengaruhi bagaimana proses pembelajaran di kelas, pembelajaran fisika pada umumnya masih didominasi oleh paradigma pembelajaran terpusat pada guru, yang sering disebut sebagai pembelajaran langsung (direct teaching). Guru aktif mentransfer pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa menerima pelajaran dengan pasif. Fisika diajarkan sebagai bentuk yang sudah jadi, bukan sebagai proses. Akibatnya, ide-ide kreatif siswa tidak dapat berkembang, kurang melatih daya nalar dan tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu masalah. Siswa hanya mampu mengingat dan menghafal rumus atau konsep fisika tanpa memahami maknanya.
Sementara itu, tidak sedikit siswa yang memandang fisika sebagai suatu mata pelajaran yang membosankan, menyeramkan bahkan menakutkan, sehingga motivasi belajar fisika siswa rendah dan banyak siswa berusaha menghindari pelajaran fisika.Banyak siswa merasa kesulitan dalam memahami fisika karena fisika bersifat abstrak, sementara alam pikiran kita terbiasa berpikir tentang obyek-obyek yang konkrit. Guru terbiasa menggunakan model pembelajaran mekanistik dan strukturalistik, yaitu guru menerangkan, memberi rumus dan contoh, kemudian siswa diberi soal untuk dikerjakan. Akibatnya banyak siswa yang masih mengalami kesulitan belajar fisika.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh guru yaitu dengan menerapkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran fisika.Pendekatan kontekstual ini merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang membantu siswa menemukan makna dalam pelajaran dengan cara menghubungkan materi pelajaran dengan konteks, kehidupan sehari-hari mereka, menuntun siswa sehingga dapat berpikir kritis dan kreatif. Pendekatan ini diharapkan mampu untuk meminimalisir rasa jenuh dan bosan pada siswa untuk belajar fisika karena pendekatan ini membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan nyata siswa.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah apakah melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diterapkan untuk meningkatkan pembelajaran fisika?
C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bahwa Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diterapkan untuk meningkatkan pembelajaran fisika.

Untuk men download makalah ini, silahkan anda klik link di bawah ini :

Download